"SELAMAT TAHUN BARU HIJRIYAH, HARI NATAL DAN TAHUN BARU 2009, SEMOGA DAMAI BERSAMA..; ~RESENSI~

Kamis, 01 Januari 2009

Dosa Sejarah Orde Baru


Judul Buku : Diburu di Pulau Buru
Penulis : Hersri Setiawan

Penerbit : Galang Press
Cetakan : Pertama, Maret 2006

Tebal : 228 halaman

Mata pelajaran sejarah kita—dari sekolah dasar hingga menengah—selau menarasikan peristiwa G. 30 S/PKI atau terkenal dengan ”peristiwa 1965”. Diceritakan bahwa peristiwa berdarah yang merenggut ketuju perwira ABRI, adalah perbuatan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dijelaskan pula bahwa Jenderal Suharto dengan “SUPERSEMAR-nya”, berhasil menumpas “penghianatan” PKI tersebut. Akhirnya, berbagai gelar kehormatan pun dianugerahkan kepadanya. Suharto lantas dipuja-puja laksana “dewa penolong” bagi bangsa ini.

Namun, pelajaran sejarah saat itu —bahkan sampai saat ini, nyaris bungkam. Bukan hanya terhadap apa yang dialami oleh sepuluh ribu tahanan politik (tapol) di Pulau Buru, tetapi juga tentang pembantaian dan penahanan atas ratusan ribu (atau bahkan jutaan?) anggota dan simpatisan—atau yang sekedar dituduh sebagai anggota simpatisan PKI.

Dalam narasi sejarah yang diciptakan oleh rezim Orba, pembantaian dan penahanan massal serta pengalaman getir para tapol di Pulau Buru —dan di tempat-tempat lain di Indonesia— dianggap tidak pernah ada. Yang ditonjol-tonjolkan dalam “narasi sejarah penguasa” adalah kisah heroik militeristik, yang dipimpin oleh Jenderal Suharto dan didukung oleh segenap warga yang merasa “setia kepada Pancasila dan UUD 1945” dalam “mengikis habis PKI hingga ke akar-akarnya”. Anehnya, narasi ini diterima sebagai salah-satunya kebenaran sejarah. Dengan narasi sejarah inilah rezim Orba mengindoktrinasi segenap warga bahwa kita adalah bangsa yang “satun”, “beradab”, “berbudi luhur”, “berperikemanusiaan” dan “berketuhanan” . Sedangkan komunis adalah “biadab”, “tidak berkemanusiaan” serta atheis. Patut untuk dibasmi!
Buku yang ada di tangan pembaca ini merupakan kisah nyata yang ditulis oleh orang yang terlibat langsung peristiwa sejarah tersebut. Ia bersama ribuan tapol lainnya, oleh rezim Orba dipaksa menjalani hidup tanpa harkat dan martabat kemanusiaan di Pulau Buru selama hampir sepanjang dasawarsa 1970-an.

Buku ini mengajak kita untuk menghentikan pemberhalaan masa lalu, sekaligus meninggalkan watak “narsistik” warisan Orba itu. Kita diajak melihat bagaimana nilai-nilai kemanusiaan diinjak-injak justru oleh mereka yang paling getol mengaku berprikemanusiaan; keberadaban Tuhan diingkari justru oleh mereka yang mengklaim sebagai yang paling berketuhanan.

Nilai-nilai keagamaan dicampakkan justru oleh mereka yang mengklaim paling agamis. Kebiadaban justru dipertontonkan oleh mereka yang mengaku sebagai orang yang palig beradab, kebodohan dipamerkan justru oleh orang yang merasa diri paling benar dan pintar, maki-makian dan kekerasan didemonstrasikan justru oleh mereka yang mengaku paling santun dan berbudi luhur. Pendeknya kita diajak melihat ironi-ironi Orba.
Dengan melihat ironi, gambaran masa lalu yang mungkin selama ini kita berhalakan tampak goyah, atau bahkan malah berantakan. Masa lalu tak lagi merupakan tempat dari mana kita bisa menepuk dada. Apakah yang dapat kita banggakan dari masa lalu Orde Baru, ketika ternyata “kesuksesan” lahiriyahnya dibangun di atas piramida korban manusia? Ketika ternyata apa yang diagung-agungkannya justru diingkarinya sendiri? (hal 10)

Selain itu, masa lalu juga tak lagi merupakan tempat kemana kita bisa lari dari tanggung jawab atas kesalahan yang kita lakukan. Bagaimana mungkin kita bisa terus-menerus mengkambing-hitamkan “komunis” setiap kali menghadapi masalah bangsa yang pelik, ketika mereka yang disebut “komunis” sendiri justru merupakan pihak yang paling menjadi korban masalah yang ada?

Agak berbeda dari beberapa otobiografi atau memoar mantan tapol yang lain, buku ini menunjukkan pretensi membela diri; dan sama dengan semua memoar mantan tapol yang lain, buku ini sama sekali tidak menunjukkan hasrat melakukan pertobatan.
Selain itu, buku ini hanya ingin berbagi pengalaman, sembari berharap bahwa pengalaman pahit para mantan tapol itu dicatat dalam narasi sejarah Indonesia mutakhir, tak lain agar seluruh tragedi kemanusiaan setelah “peristiwa 1965” tidak terulang kembali.

Hanya dengan berhenti memberhalakan atau meratapi masa lalu, kita bisa menjadikan masa lalu sebagai guru yang terbaik, sebagaimana diungkapkan Sukarno dengan semboyan “jasmerah”nya.

Guru paling baik dari Pulau Buru dan seluruh tragedi kemanusiaan 1965 yang merupakan pondasi berdirinya rezim Orba adalah bahwa paradigma berpikir ”either/or” itu sering, juga bukan selalu, mendatangkan malapetaka bersama.

Ketika kita berkata bahwa”jika engkau tidak membenci mereka, mak engkau pasti bagian dari mereka”, dan mereka itu musuh kita yang harus kita musnahkan”, maka dari situ kekerasan bermula. Persis ketika orang berlomba berteriak ”hancurkan PKI”, tak lain agar tidak dicap sebagai “PKI”.

Baca Selanjutnya......

Sabtu, 29 Maret 2008

Setetes Embun Penyejuk dalam Kegersangan Spiritual

Surat Cinta Al-Ghazali : Nasihat-nasihat Pencerahan Hati
Penulis : Islah Gusmian
Penerbit : Mizania PT Mizan Pustaka
Cetakan : Pertama, Maret 2006
Tebal : 236 halaman

Mengapa banyak orang yang berilmu tetapi merasa hidupnya gersang dan tak makna?dan mengapa kita harus menguasai seluruh ilmu jika pada akhirnya tidak bermanfaat bagi diri sendiri apalagi orang lain?. Pertanyaan “men-gelisahkan” itu senantiasa mengusik hati salah seorang murid Imam Al Ghazali.

Kegelisahan ini akhirnya mendorongnya menulis surat kepada gurunya—Imam Ghazali— untuk membuatkan ringkasan tentang ilmu yang bermanfaat. Permintaan tulus dari seorang murid ini akhirnya mendorong Imam Al Ghazali menulis sebuah kitab terkenal yang berjudul kitab Ayyuhal-Walad.
Dunia moderen yang begitu cepat bergulir, diiringi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang sangat pesat pula. Puncak keberhasilan IPTEK adalah manusia berhasil menginjakkan kakinya di bulan—meski diwakili oleh Niel Amstrong levat misi Apollo beberapa tahun silam. Tetapi dalam kejayaan IPTEK tersebut timbul persoalan baru yang disebut Daniel Bell sebagai “kegersangan intelektual spiritual”.
Ilmu serasa tak bermakna dan tak berarti dalam kehidupan. Orang yang berilmu, tetapi ia tidak menemukan apa-apa dalam ilmunya selain kegersangan dan kehampaan. Kaum eksistensial melukiskan posisi manusia ini “dalam kesadaran naif dan eksistensi semu” yang tiada berujung. Akhirnya, lahirlah intelektual-intelektual yang disebut Bergson sebagai ilmuwan yang kehilangan elan vital dalam kehidupannya.
Persoalan ini terjadi karena manusia kehilangan spirit ketuhanan dalam dirinya, hilangnya amal dari ilmu dan hilangnya ilmu dari amal. Untuk mengatasi kegersangan intelektual spiritual tersebut, Al Ghazali dalam kitabnya tersebut memberikan beberapa wasiat diantaranya: pertama, manusia harus senantiasa meneladani ahklaq Rasulullah SAW.

Meneladani pribadi rasul bukan tanpa sebab, semata-mata karena diri dalam beliau terpancar akhlak serta budi pekerti yang luhur tiada tandingannya. Sampai-sampai, seorang orientalis barat bernama Mout Gomory Watt begitu gandrung terhadapnya.
Bahkan dengan jujur George Bernad Shaw —juga seorang orientalis— melukiskan jika rasul hadir pada zaman modern, niscaya beliau dapat mengatasi segala persoalan kehidupan dan membawa kehidupan umat manusia ke arah kebahagian.
Kedua, memanfaatkan waktu secara tepat. Al Quran surat Al-Ashar 1-3 dengan tegas menjelaskan pentingnya penggunaan waktu secara tepat. Hidup akan terasa bermakna manakala kita menghargai waktu.
Ketiga, mengamalkan ilmu dengan ikhlas. Jika menjadi seorang guru, ia harus ikhlas mengamalkan ilmunya kepada murid-muridnya tanpa embel-embel apapun. Laksana ibu pada anaknya dan laksana orang membuang hajat. Transfer ilmu guru pada murid tidak hanya secara kognitif, tetapi seluruh pribadi guru idealnya mewarnai kehidupan muridnya.
Menurut Al Ghazali, seorang guru haruslah berusaha mewarisi budi pekerti Rasulullah SAW. Bandingkan dengan guru-guru yang mengajar saat ini, di mana hubungan antara guru dengan murid hanya diukur dari sudut finansial saja, tanpa ada rasa tanggung jawab terhadap ilmu yang telah diajarkannya.
Keempat, menghiasi malam dengan shalat tahajud. Menurut tradisi Tao saat sepertiga malam terakhir energi yang akan aktif hingga pada titik optimal. Energi yang adalah energi aktif alam raya ini. Oleh karena itu penganut ajaran Tao menggunakan waktu tersebut untuk melatih chi kung dan taichi —yaitu menyerap energi yang seoptimal mungkin. Efeknya, tubuh menjadi sehat dan pikiran menjadi jernih. Sangat tepat bila Rasulullah menganjurkan umatnya untuk melakukan zikir dan tafakur. Kegiatan tersebut membuat tubuh kita menyerap energi yang sehingga hati menjadi tentram dan kreatifitas pun meningkat pula. (hal 89)
Kelima, investasikan dunia untuk akhirat, artinya menjadikan seluruh kegiatan di dunia sebagai amalan untuk kehidupan di akhirat kelak. Kelima, menjaga tuhan dalam hati dan menyerahkan hidup pada kehendak-Nya. Artinya menjadikan tuhan sebagai kekasih di atas segala-galanya. Karena tuhan sudah menjadi kekasih kita, maka kita akan melakukan apa saja untuk kekasih kita tersebut. Tak ada seseorang yang akan menolak manakala diminta berkorban untuk pujaan hatinya.
Membaca buku ini laksana menemukan oase di padang pasir yang tandus, kita akan disuguhi nasihat luhur yang diterjemahkan dengan konteks kehidupan nyata. Hasilnya, penghayatan yang sangat sempurna. Meskipun buku ini hanya merupakan “penafsiaran kontekstual” atas kitab Ayyuhal-Walad kaya Imam Ghazali tetapi cukup membumi dengan kehidupan sehari-hari sehingga bisa menjadi embun penyejuk dalam kegersangan sepiritual manusia modern.[]

Baca Selanjutnya......
- |